Recent Posts

Senin, 22 Februari 2010

STRATEGI PENGEMBANGAN WAKAF

KONSEP PENGEMBANGAN WAKAF
DALAM
PRAKTEK KLASIK DAN MODERN
Oleh Hanafi (Mahasiswa Magister Ekonomi Islam Az Zahra angkatan 2)

Wakaf merupakan salah satu lembaga public yang memainkan perang sangat penting dalam sejarah peradaban islam. Siapapun yang mengkaji dan menjadi pemerhati buku-buku sejarah, perjalanan dan pemikiran para ulama terdahulu, pasti akan terkagum-kagum melihat keberhasilan yang diciptakan oleh lembaga ini dalam menggerakkan aktifitas dalam seluruh lini kehidupan baik social, ekonomi maupun keagamaan.

Dahulunya, lembaga wakaf adalah pusat sumber investasi baik untuk pendidikan, kesehatan, social, pembangunan kamp-kamp pertahanan dan keamanan, pemikiran maupun kebudayaan dll. Hal itu bisa dilihat dari warisan-warisan leluruh kita.
Seiring dengan perjalanan waktu, meskipun kita melihat lembaga wakaf ini mengalami kesurutan setelah masuknya para imperialis ke Negara-negara islam dan menghilangkan konsep-konsep yang ada, namun akhir-akhir ini banyak didapati organisasi-organisasi atau Negara mulai berusaha dan mengaktifkan kembali peran dan fungsi lembaga wakaf yang dahulunya pernah ada.

Defenisi wakaf dan konsepnya

Secara bahasa Wakaf berasal dari kata Arab “waqafa” yang artinya berhenti, mencegah dan menahan. (Arrazy, Mukhtar as Shihah, hal. 733)
Secara istilah, para ulama memberikan beberapa pengertian sebagai berikut:
1. Ibnu Qudamah: wakaf adalah menahan harta pokok dan memanfaatkan hasilnya Ibnu Qudamah, Alkafi fi fiqh al Imam Ahmad, juz 2 hal. 448)

Penjelasannya:
Pemilik harta menahan hartanya: artinya baik dirinya sendiri maupun yang mewakilinya; sudah dewasa, aqil-baligh, sehat. Syarat ini tidak dimasukkan oleh ulama syafiiyah dalam menjelaskan makna wakaf. Mewakafkan sesuatu harus disertai sighat/ungkapan kata; hartanya harus yang halal secara syar’iy, maka yang tidak halal berarti diluar koridor wakaf, seperti anjing, tidak boleh diwakafkan. Yang tidak boleh diwakafkan diantaranya budak yang dalam masa pembebasan (mukatab), khamar (arak), anjing, …; harta yang akan diwakafkan tersebut harus bisa memberikan manfaat, baik saat diwakafkan atau di masa mendatang. Harta yang tidak bisa memberikan manfaat berarti di luar koridor wakaf. Harta wakaf harus bersifat lestari/langgeng walaupun terus dimanfaatkan. Maka, harta yang bisa dimanfaatkan namun menjadi habis berarti di luar koridor wakaf, seperti angin dan makanan. Maka, tidak sah jika ada seseorang mewakafkan angin atau makanan. Harta wakaf harus dipergunakan dalam bidang kemaslahatan, artinya tidak boleh digunakan dalam urusan haram. Oleh karena itu, sebagian fuqaha menjelaskan bahwa bidang kemaslahatan adalah segala urusan yang diperbolehkan.

2. Menurut Hanafiyyah:
Wakaf adalah menahan harta-benda sehingga menjadi hukum milik Allah ta’alaa, maka seseorang yang mewakafkan sesuatu berarti ia melepaskan kepemilikan harta tersebut dan memberikannya kepada Allah untuk bisa memberikan manfaatnya kepada manusia secara tetap dan kontinyu, tidak boleh dijual, dihibahkan, ataupun diwariskan. Definisi ini dipegang oleh Abu Yusuf dan Muhammad, keduanya adalah sahabat Imam Abu Hanifah. Dan inilah pandangan Madzhab Hanafiyah.

Macam-Macam Wakaf

Para ulama mutaqaddimin (klasik) tidak pernah membagi wakaf, baik antara wakaf untuk anak keturunan sendiri maupun wakaf untuk publik, semua jenis wakaf, menurut mereka hanya disebut wakaf semata atau shadaqah.
Namun, para ulama mutaakhirin (kontemporer) mulai membagi antara wakaf yang diniatkan untuk anak keturunan dan wakaf untuk public (umum), seperti untuk fakir-miskin, pencari ilmu, atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Maka, para ulama mutaakhirin menyebut wakaf untuk:
1. Keluarga dengan nama: Al-Waqf Al-Ahliy atau Al-Dzurriy.
2. sedangkan wakaf untuk publik dengan nama Al-Waqf Al-Khairiy. (Abu Zuhrah, Muhadharah fii Al-Waqf, Abu Zuhrah, hal 4, 36, Al Kubaisiy, Ahkam Al-Waqf, 1/42).
Pada dasarnya, Wakaf bersifat menyeluruh, mencakup dua jenis wakaf di atas, baik untuk keluarga maupun untuk public, keduanya mengandung arti kebaikan, kemaslahatan, kebajikan, shadaqah. Dan tidak ada bedanya.

Model pengembangan wakaf antara klasik dan modern


Berikut adalah metode pengembangan wakaf yang pernah dikembangkan oleh para ulama klasikal dan ijtihad para ulama kontemporer: (Ali Muhyiddin Al Qurrah Daghi, Istitsmar Al Waqf wa Thuruqahu al qadimah wal al haditsah)
1. Ijarah (sewa)
Para ulama fiqih menyebutkan beragam bentuk ijarah dalam wakaf, diantaranya adalah:
a. Ijarah
System inilah yang paling penting dan lebih dikenal di kalangan umum. Bahkan para ulama selalu mengkaitkan pengembangan wakaf dengan system ijarah ini. Meskipun ada sebagian kalangan fuqaha yang menolak wakaf dengan mata uang (dinar dan dirham) dengan alasan bahwa mata uang tidak boleh disewakan dan penggunaanya hanya sebatas untuk konsumsi.

Adapun ulama yang membolehkan wakaf dengan mata uang (dinar dan dirham) mereka beralasan sebagaimana yang dikutip oleh ibnu Qudamah, “… pendapat yang lain mengatakan bahwa dinar dan dirham boleh disewakan. Adapun perhiasan boleh juga disewakan dengan cara dipakai atau dipinjamkan.” (Ibnu Qudamah, al Mughni, 5/640-641)

Oleh karenanya ketika Muhammad bin abdillah al anshary (murid zufar) berfatwa akan bolehnya wakaf dirham, dinar, barang yang bisa ditakar dan ditimbang, para ulama merasa heran dan bertanya padanya, “apa yang bisa dikembangkan dari wakaf semacam ini? Bukankah engkau tahu bahwa wakaf adalah menahan asset dan memanfaatkan hasilnya. Dimana kah hasil/manfaat yang bisa diharapkan?.” Jawab Muhammad, “anda gunakan dinar dan dirham itu untuk mudharabah (lose and profit sharing) kemudian anda infakkan keuntungannya. (At Tharabulsiy, Al Is’af fi ahkam al Auqaf, hal. 22)

Sebagian ulama mengatakan bahwa manfaat wakaf dinar dan dirham, “Anda bisa memberikan pinjaman kepada fakir lalu memintanya kembali dan anda berikan lagi kepada yang lainnya.” (al fatawa al hindiyyah, 3/362)

Pada dasarnya seluruh fuqaha sepakat akan bolehnya menyewakan wakaf dan memanfaatkan hasil dari penyewaan tadi. Hanya saja mereka berselisih pendapat dalam masalah-masalah yang cukup pelik seperti lama masa (waktu) penyewaan dan berapa nilai sewa yang diharapkan.

2. Muzaraah
Yaitu adanya kesepakatan antara pengurus wakaf (nadzir) dengan pihak lain untuk menanami lahan yang diwakafkan dengan syarat hasil yang diperoleh dari penanaman lahan wakaf tadi dibagi sesuai dengan kesepakatan. Misalnya 50:50 (nadzir:pengelola) atau yang lainnya. (hasyiyah Abidin, 6/274)

3. Musaqah
Musaqah ini khusus berkaitan dengan perkebunan atau lahan yang ditanami pepohonan yang membuahkan.

System musaqah ini adalah bentuk kerjasama antara pengurus wakaf dengan pihak kedua untuk merawat dan mengairi perkebunan dengan syarat hasil dari perkebunan dibagi antara kedua pihak dengan porsi sesuai dengan yang telah disepakati. (hasyiyah Abidin, 5/174), (Bidayatul mujtahid, 2/242)

4. Mudharabah
Yaitu gabungan antara harta, pengalaman dan pekerjaan. Skemanya adalah pemilik harta memberikan hartanya kepada pengelola (yang memiliki pengalaman dan pekerjaan) untuk dikembangkan baik kerjasama ini bersifat mutlak (tidak terbatasi oleh persyaratan) maupun muqoyyad (pengembangannya terikat dengan persyaratan yang diajukan oleh pemilik harta) dengan ketentuan bahwa hasilnya dibagi antara kedua pihak dengan prosentase yang telah disepakati.

Konteks mudharabah dalam wakaf ini bisa terealisasi dalam 3 hal:
a. Jika wakafnya berupa uang, menurut ulama yang membolehkannya seperti Malikiyyah, sebagian Hanafiyyah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya dan dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, maka pengembangan dari wakaf uang ini dengan menggunakan system mudharabah (profit and lose sharing). (hasyiyah Abidin, 4/363), (Durarul Ahkam, 2/133)
b. Jika dana wakaf yang dikelola oleh pengurus wakaf ada kelebihan setelah didistribusikan kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya, atau dana tersebut berupa saham yang disisihkan untuk investasi, maka pola yang bisa dikembangkan adalah dengan menggunakan system mudharabah juga.
c. Peralatan atau hewan yang diwakafkan bisa juga dikembangkan dengan pola mudharabah. Mekanismenya adalah pemilik peralatan atan hewan memberikannya kepada pengelola kemudian peralatan hewan tersebut dimanfaatkan oleh pengelola. Hasil yang dicapai dengan pemberian alat atau hewan tadi dibagi antara kedua pihak sesuai dengan prosentasi yang telah disepakati.

Misalnya seseorang memberi kuda atau mobil kepada pihak kedua kemudian hasil dari kuda atau mobil yang dimanfaatkan tadi dibagi antara kedua pihak. (Syarh Muntaha al Iradat, 2/219)

5. Musyarakah
Pola yang bisa dikembangkan dengan system musyarakah ini diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Musyarakah biasa.
Yaitu kesepakatan kerjasama antara pengurus wakaf (nadzir) dengan dua pihak atau lebih untuk melakukan suatu usaha tertentu yang halal dan produktif dengan kesepakatan bahwa keuntungan akan dibagikan sesuai nisbah yang disepakati dan resiko akan ditanggung sesuai porsi kerjasama baik dalam proyek perindustrian, pertanian maupun perdagangan.

Kerjasama ini juga bisa berlaku dalam syirkah mufawadhah, inan dan milk.

b. Kerjasama dalam perusahaan terbuka dengan cara menjadi pendiri atau membeli saham.
c. Kerjasama dalam perusahaan terbatas.

6. Istishna’
Yaitu suatu kontrak jual beli antara pembeli (mustasni’) dan penjual (shani’) di mana pembeli memesan barang (mashnu’) dengan kriteria yang jelas dan harganya dapat diserahkan secara bertahap.

Pihak pengurus wakaf bisa memanfaatkan akad ini dengan cara membangun proyek besar dan bermanfaat. Dimana bisa kerjasama dengan perbankan islami atau investor untuk mendanai proyek yang ada diatas tanah wakaf ataupun yang lainnya. Adapun pembayarannya bisa dicicil selama beberapa tahun. Karena keistimewaan akad ini adalah tidak disyaratkannya pembayaran uang dimuka tapi boleh dibayar di akhir dan dicicil.

7. Murabahah
Yaitu akad penyediaan arang berdasarkan prinsip jual beli, dimana pengurus wakaf (nadzir) membelikan kebutuhan barang nasabah (investasi/modal kerja) dan nadzir menjual kembali kepada nasabah ditambah dengan keuntungan yang disepakat.

8. Penerbitan shukuk
Bisa berupa shukuk mudharabah, musyarakah, ijarah, murabahah dll.

Demikian beberapa gambaran pola pengembangan wakaf baik secara klasik maupun modern. Mudah-mudah bermanfaat bagi pengurus wakaf khususnya dan umat islam secara umum.
Wallahu a’lam bis showab.

0 komentar:

Posting Komentar